Senin, 14 Maret 2011

-TEKAD YANG KUAT-

. Tekad yang kuat
Jika penyesalan itu
berkaitan dengan masa lalu
dan kesalahan yang telah ia
perbuat; ada dimensi dalam
taubat yang berkaitan
dengan masa depan, dan
tentang probabilitas ia
melakukan pengulangan
perbuatan dosa itu kembali,
serta bagaimana mengganti
kesalahan yang telah ia
perbuat. Yaitu dengan
bertekad untuk
meninggalkan maksiat itu
dan bertaubat darinya
secara total, dan tidak akan
kembali melakukannya
selama-lamanya. Seperti
susu yang tidak mungkin
kembali ke puting hewan
setelah diperah. Ini semua
berpulang pada keinginan
dan tekad orang itu. Dan
tekad itu harus kuat betul,
bukan keinginan yang
dilandasi oleh keragu-
raguan. Tidak seperti mereka
yang pada pagi harinya
bertaubat sementara pada
sore harinya kembali
mengulangi lagi dosanya!
Yang terpenting dalam
masalah tekadnya ini adalah
agar tekad itu kuat dan
betul-betul, saat bertaubat.
Dengan tanpa disertai oleh
keraguan atau kerinduan
untuk kembali melakukan
kemaksiatan, atau juga
berpikir untuk
mengerjakannya kembali.
Taubat itu tidak batal jika
suatu saat tekadnya itu
sedikit melemah kemudian ia
terlena oleh dirinya, tertipu
oleh syaitan sehingga ia
terpeleset, dan kembali
melakukan kemaksiatan.
Dalam kasus seperti ini, ia
harus segera melakukan
taubat, menyesal dan
menyusun tekad lagi. Dan ia
tidak perlu putus-asa takut
taubatnya tidak diterima jika
memang tekadnya tulus.
Allah SWT berfirman:
"Maka sesungguhnya Dia
Maha Pengampun bagi
orang-orang yang
bertaubat" [QS. al Isra: 25].
Al-Awwaab adalah orang
yang sering meminta
ampunan kepada Allah SWT;
setiap kali ia melakukan dosa
ia mengetahui bahwa ia
memiliki Rabb Yang Maha
Mengampuni dosa, maka dia
segera melakukan istighfar
dan diapun mendapatkan
ampunan.
Imam Ibnu Katsir berkata:
"Sedangkan jika ia bertekad
untuk bertaubat dan
memegang teguh tekadnya,
maka itu akan
menghapuskan kesalahan-
kesalahannya pada masa
lalu. Seperti terdapat dalam
hadits sahjih "Islam
menghapuskan apa yang
sebelumnya, dan taubat
menghapuskan dosa yang
sebelumnya".
Ibnu Katsir berkata: "apakah
syarat taubat nasuha itu
orang harus tetap bersikap
seperti itu hingga ia mati,
seperti diungkapkan dalam
hadits dan atsar: "kemudian
ia tidak kembali
melakukannya selama-
lamanya", ataukah cukup
bertekad untuk tidak
mengulangi lagi, untuk
menghapus dosa yang telah
lalu, sehingga ketika ia
kembali melakukan dosa
setelah itu, maka ia tidak
merusak taubatnya dan
menghidupkan kembali dosa
yang telah terhapuskan,
dengan melihat generalitas
pengertian hadits: "Taubat
menghapus dosa yang
sebelumnya" [Tafsir Ibnu
Katsir: 4/ 392 , cet. Al
Halabi.]?.
Ibnu Qayyim membicarakan
hal ini dalam kitabnya
"Madarij Salikin" dan
menyebut dua pendapat:
Satu pendapat
mengharuskan agar orang
itu tidak mengulangi kembali
dosanya sama sekali. Dan
berkata: ketika ia kembali
melakukan dosa, maka
jelaslah taubatnya yang
dahulu itu batal dan tidak
sah.
Sedangkan menurut
pendapat kalangan
mayoritas, hal itu tidak
menjadi syarat. Kesahihan
taubat hanya ditentukan
oleh tindakannya
meninggalkan dosa itu, dan
bertaubat darinya, serta
bertekad dengan kuat untuk
tidak mengulanginya lagi.
Dan jika ia mengulanginya
lagi padahal ia dahulu telah
bertekad untuk tidak
mengulang dosanya itu,
maka saat itu ia seperti
orang yang melakukan
kemaksiatan dari permulaan
sekali, sehingga taubatnya
yang lalu tidak batal.
Ia berkata: masalah ini
dibangun di atas dasar
pertanyaan: "Apakah
seorang hamba yang
bertaubat dari suatu dosa
kemudian ia mengulanginya
dosanya itu, ia kembali
menanggung dosa yang telah
ia mintakan taubatnya
sebelumnya, sehingga ia
harus menanggung dosa
yang lalu dan sekarang ini,
jika ia mati saat masih
melakukan maksiat?
Ataukah itu telah terhapus,
sehingga ia tidak lagi
menanggung dosanya,
namun hanya menanggung
dosa yang terakhir itu?"
Dalam masalah ini ada dua
pendapat:
Satu kelompok berpendapat:
ia kembali menanggung dosa
yang telah ia mintakan
taubatnya dahulu itu, karena
taubatnya telah rusak dan
batal ketika ia mengulangi
dosanya. Mereka berkata:
karena taubat dari dosa
adalah seperti keislaman
dengan kekafiran. Seorang
yang kafir ketika ia masuk
Islam maka keislamannya itu
akan menghapuskan seluruh
dosa kekafiran dan dosa
yang pernah dilakukannya.
Kemudian jika ia murtad,
dosanya yang lalu itu
kembali ia tanggung
ditambah dengan dosa
murtad. Seperti terdapat
dalam hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa yang beramal
baik dalam Islam (setelah
masuk ke dalamnya dari
kejahiliyahan) maka ia tidak
akan dipertanyakan akan
apa yang telah diperbuatnya
pada masa jahiliah. Dan siapa
yang berbuat buruk dalam
Islam, maka ia akan
dimintakan
pertanggungjawaban akan
dosanya pada yang pertama
(saat masih jahiliah) dan
yang lainnya (setelah Islam)".
Ini adalah orang yang masuk
Islam namun merusakan
keislamannya itu. Dan telah
diketahui bersama bahwa
kemurtadan adalah
perusakan yang paling besar
terhadap keislaman
seseorang. Maka ia akan
kembali menanggung dosa
yang telah ia lakukan dalam
kekafirannya sebelum ia
masuk Islam, dan keislaman
yang pernah ia rasakan itu
tidak menghapuskan dosa-
dosa yang lama iu. Demikian
juga dosa orang yang
taubatnya ia langgar, maka
dosa yang dilakukan sebelum
taubat yang ia langgar itu
kembali ia tanggung. Juga
tidak menghalangi dosa yang
ia lakukan kemudian.
Mereka berkata: karena
kesahihan taubat
disyaratkan kontinuitasnya
dan terus dijalani, maka
sesuatu yang tergantung
dengan suatu syarat akan
hilang ketika syarat itu
lenyap. Seperti kesahihan
Islam disayaratkan
kontinuitasnya dan terus
dijalaninya. Mereka berkata:
taubat adalah wajib secara
ketat sepanjang usia
seseorang. Masanya adalah
sepanjang usia orang itu.
Oleh karena itu, hukumnya-
pun harus terus ditaati
sepanjang usianya. Maka
bagi dia, masa sepanjang
usianya itu adalah seperti
orang yang menahan diri dari
melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa ketika
ia berpuasa pada hari itu.
Maka jika sepanjang hari ia
menahan diri dari yang
membatalkan puasa,
kemudian ia melakukan
perbuatan yang
membatalkan puasa pada
sore harinya, niscaya seluruh
puasanya yang telah ia jalani
dari pagi hari itu otomaits
batal, dan tidak dinilai
sebagai puasa. Dan ia sama
seperti orang yang tidak
puasa sama sekali.
Mereka berkata: ini didukung
oleh hadits sahih, yaitu sabda
Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya seorang
hamba telah beramal dengan
amal penghuni surga, hingga
antara dirinya dengan surga
itu sekadar satu lengan,
kemudian ketentuan
takdirnya datang hingga
akhirnya ia beramal dengan
amal penghuni neraka
sehingga iapun masuk ke
neraka itu".
Ini lebih umum dari amal
yang kedua itu, suatu
kekafiran yang
menghantarkan kepada
neraka selamanya, atau
kemaksiatan yang
menghantarkannya ke
neraka. Karena Rasulullah
Saw tidak mensabdakan:
"maka ia murtad dan iapun
meninggalkan Islam". Namun
menghabarkan bahwa: ia
beramal dengan amal yang
menghantarkannya ke
neraka. Dan dalam sebagian
kitab sunan terdapat: "Ada
seorang hamba yang telah
melakukan ketaatan kepada
Allah SWT selama enam
puluh tahun, dan ketika ia
menjelang kematiannya ia
melakukan kecurangan
dalam berwasiat maka iapun
masuk neraka".
Penutup yang buruk lebih
umum dari penutup dengan
kekafiran atau kemaksiatan.
Dan seluruh amal perbuatan
dinilai dengan akhir amal itu.
Sedangkan kelompok kedua
-- yaitu mereka yang
berkata bahwa dosa yang
lama yang telah ia mintakan
taubatnya tidak kembali
ditanggungnya jika ia
melanggar taubatnya itu--
berdalil bahwa dosa itu telah
terhapus dengan taubat.
Maka ia seperti orang yang
tidak melakukannya sama
sekali, sehingga ia seperti
tidak ada. Sehingga ia tidak
kembali ke situ setelahnya.
Namun yang harus ia
tanggung hanya dosa yang
baru itu, bukan dosa yang
lama.
Mereka berkata: tidak
disyaratkan dalam kesahihan
taubat itu ia tidak pernah
berdosa hingga mati. Namun
jika ia telah menyesal dan
meninggalkan dosa serta
bertekad untuk
meninggalkan sama sekali
perbuatannya itu, niscaya
dosanya segera
terhapuskan. Dan jika ia
kembali melakukannya, ia
memulai dari baru catatan
dosanya itu.
Mereka berkata: ini tidak
seperti kekafiran yang
menghancurkan seluruh
amal kebaikan. Karena
kekafiran itu lain lagi
masalahnya. Oleh karenanya
ia menghapuskan seluruh
kebaikan. Sedangkan
kembali berdosa tidak
menghapuskan amal
kebaikan yang telah
dilakukannya.
Mereka berkata: taubat
adalah termasuk kebaikan
yang paling besar. Maka jika
taubat itu dibatalkan dengan
melakukan dosa kembali,
niscaya pahala-pahala itu
juga terhapuskan. Pendapat
itu tidak benar sama sekali.
Itu sama seperti mazhab
kaum khawarij yang
mengkafirkan orang karena
dosa yang ia perbuat. Dan
kaum Mu'tazilah yang
memasukkan orang yang
berdosa besar dalam neraka,
meskipun ia telah melakukan
banyak amal yang baik.
Kedua kelompok itu sepakat
memasukkan orang-orang
yang melakukan dosa-dosa
besar dalam neraka. Namun
khawarij mengkafirkan
mereka, dan mu'tazilah
menilai mereka fasik. Dan
kedua mazhabn itu adalah
batil dalam Islam.
Bersebrangan dengan nash-
nash, akal serta keadilan:
"Sesungguhnya Allah tidak
menganiaya seseorang
walaupun sebesar dzarrah,
dan jika ada kebajikan
sebesar dzarrah, niscaya
Allah akan melipat
gandakannya, dan
memberikan dari sisi-Nya
pahala yang besar" [QS. an-
Nisa: 40].
Mereka berkata: Imam
Ahmad menyebutkan dalam
musnadnya secara marfu'
kepada Nabi Saw:
"Sesungguhnya Allah SWT
mencintai hamba yang
terfitnah (hingga melakukan
dosa) dan sering meminta
ampunan" [Hadits ini
sanadnya dha'if jiddan/
lemah sekali].
Aku berkata: ia adalah orang
yang setiap kali melakukan
dosa ia segera bertaubat dari
dosa itu. Kalaulah mengulang
dosa itu membatalkan
taubatnya niscaya ia tidak
disenangi oleh Rabbnya,
malah menimbulkan
kebencian-Nya.
Mereka berkata: Allah SWT
mengaitkan diterimanya
taubat dengan istighfar,
tidak terus melakukan dosa,
dan tidak mengulanginya.
Allah SWT berfirman:
"Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri,
mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa
lagi yang dapat mengampuni
dosa selain dari pada Allah? -
Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka
mengetahui" [QS. Ali Imran:
135].
Terus melakukan dosa
adalah: membiasakan hati
dan diri untuk melakukan
dosa setiap kali ada
kesempatan untuk itu. Inilah
yang menghalangi maghfirah
dari Allah SWT.
Mereka berkata: Sedangkan
kontinuitas taubat adalah
syarat keabsahan
kesempurnaan dan
kemanfaatan taubat itu,
bukan syarat keabsahan
taubat atas dosa yang
sebelumnya. Namun tidak
demikian halnya dengan
ibadah, seperti puasa selama
satu hari penuh, serta
bilangan raka'at dalam
shalat. Karena ia adalah
suatu ibadah secara utuh,
sehingga ibadah itu tidak
dapat diterima jika tidak
terpenuhi seluruh rukun dan
bagian-bagiannya.
Sedangkan taubat, ia adalah
adalah ibadah yang beragam
sesuai dengan ragam dosa.
Setiap dosa memiliki cara
taubat tersendiri. Jika
seseorang melakukan suatu
ibadah dan tidak melakukan
yang lain, itu tidak berarti
ibadah yang dilakukannya itu
tidak sah karena ia tidak
mengerjakan ibadah yang
lain, seperti telah disebutkan
sebelumnya.
Namun, sama dengan ini
adalah: orang yang puasa
pada bulan Ramadlan
kemudian ia membatalkan
puasanya itu tanpa adanya
uzur, maka apakah puasa
yang ia batalkan itu
membatalkan pahala puasa
yang telah ia lakukan?
Contoh yang lain adalah
orang yang shalat namun ia
tidak berpuasa , atau yang
yang menunaikan zakat
namun tidak pernah
melaksanakan ibadah hajji
(padahal ia mampu).
Pokok masalah: taubat
sebelumnya adalah
kebaikan, sedangkan
mengulang dosa itu adalah
keburukan, maka
pengulangan dosa itu itidak
menghapus kebaikan itu,
juga tidak membatalkan
kebaikan yang dilakukan
bersamaan dengannya.
Mereka berkata: ini dalam
pokok-pokok (ushul) ahli
sunnah lebih jelas. Mereka
sepakat bahwa seseorang
bisa mendapat perlindungan
dari Allah SWT dan pada saat
yang sama juga dibenci oleh-
Nya. Atau ia dicintai Allah
SWT namun ia juga sekaligus
dibenci dari segi lain. Atau
ada orang yang beriman
namun masih mempunyai
kemunafikan, juga keimanan
dan kekafiran. Dan orang itu
dapat lebih dekat kepada
suatu sisi dari sisi yang lain.
Sehingga ia menjadi
kelompok sisi itu. Seperti
firman Allah SWT: "Mereka
pada hari itu lebih dekat
kepada kekafiran dari padi
keimanan"[QS. Ali Imran:
167]. Dan berfirman:
"Dan sebagian besar dari
mereka tidak beriman
kepada Allah, melainkan
dalam keadaan
mempersekutukan Allah
(dengan sembahan-
sembahan lain)" [QS. Yusuf:
106].
Allah SWT mengakui
keimanan mereka, sambil
menyebut kemusyrikan
mereka. Namun jika bersama
kemusyrikan ini juga
terdapat pengingkaran
terhadap Rasul-rasul Allah
maka keimanannya kepada
Allah SWT itu tidak bermakna
lagi. Sedangkan jika mereka
membenarkan apa yang
dibawa oleh Rasulullah Saw,
sementara mereka tetap
melakukan beragam
tindakan musyrik, itu tidak
mengeluarkan mereka dari
keimanan kepada para Rasul
dan hari kiamat. Dan mereka
berhak mendapatkan
ancaman yang lebih besar
daripada pelaku dosa-dosa
besar.
Kemusyrikan mereka adalah
dua macam: musyrik yang
tersembunyi dan yang
terang-terangan. Yang
tersembunyi dapat diampuni,
sedangkan yang terang-
terangan tidak diampuni oleh
Allah SWT kecuali dengan
melakukan taubat dari
pebuatannya itu. Karena
Allah SWT tidak mengampuni
kemusyrikan.
Dengan dasar ini, ahli sunnah
mengatakan bahwa para
pelaku dosa besar masuk
neraka, namun setelah
merasakan siksa neraka itu
mereka akan keluar darinya
dan masuk surga, karena
adanya dua unsur pada
dirinya.
Jika demikian, maka orang
yang mengulang melakukan
dosa setelah bertaubat
adalah orang yang dibenci
Allah SWT karena ia
mengulangi dosanya, namun
juga dicintai karena ia telah
melakukan taubat dan amal
ang yang baik sebelumnya.
Dan Allah SWT telah
menetapkan bagi segala
seuatu sebab-sebabnya,
dengan adil dan penuh
hikmah, dan Allah SWT tidak
sedikitpun melakukan
kezhaliman.
"Dan sekali-kali tidaklah
Tuhanmu menganiaya
hamba-hamba (Nya)" [QS.
Fushilat: 46].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar