Selasa, 22 Maret 2011

sang istri

diriwayatkan bahwa Syuraih
al-Qadhi bertemu dengan
asy-Sya ’bi pada suatu hari,
lalu asy-Sya’bi bertanya
kepadanya tentang
keadaannya di rumahnya. Ia
menjawab:
“Selama 20 tahun aku tidak
melihat sesuatu yang
membuatku marah terhadap
isteriku. ”
Asy-Sya’bi bertanya,
“Bagaimana itu terjadi?”
Syuraih menjawab, “Sejak
malam pertama aku bersua
dengan isteriku, aku melihat
padanya kecantikan yang
menggoda dan kecantikan
yang langka.
Aku berkata pada diriku:
‘ Aku akan bersuci dan
shalat dua rakaat sebagai
tanda syukur kepada Allah.
Ketika aku salam, aku
mendapati isteriku ada di
belakangku ikut menunaikan
shalat dengan shalatku dan
salam dengan salamku.
Maka ketika rumahku telah
sepi dari para Sahabat dan
rekan-rekan, aku berdiri
menuju kepadanya. Aku
ulurkan tanganku keubun-
ubunnya, maka dia berkata,
‘Perlahan, wahai Abu
Umayyah, seperti keadaanmu
semula. ’
Kemudian isteriku berkata,
“Segala puji bagi Allah. Aku
memuji-Nya dan memohon
pertolongan kepada-Nya.
Semoga shalawat dan salam
atas Muhammad dan
keluarganya. Sesungguhnya
aku adalah wanita asing yang
tidak mengetahui akhlakmu,
maka jelaskanlah kepadaku
apa yang engkau sukai
sehingga aku akan
melakukannya dan apa yang
tidak engkau sukai sehingga
aku meninggalkannya.”
Dia lalu mengatakan, ‘Bisa
jadi dahulu ada perempuan
yang ingin menikah
denganmu dan begitu juga
aku, ada laki-laki yang ingin
menikah denganku. Namun
Allah telah menggariskan
pertemuan ini. Engkau telah
berkuasa penuh terhadap
diriku, maka lakukanlah apa
yang diperintahkan Allah
kepadamu. Apabila ada
kebaikan dalam pernikahan
ini maka pertahankanlah
hubungan ini dengan cara
yang baik dan bila ada
keburukan sehingga harus
berpisah maka ceraikanlah
dengan cara yang baik pula.
Aku ucapkan sampai di sini
saja, dan aku memohon
ampun kepada Allah untukku
dan untukmu. ’
Syuraih berkata,
“Demi Allah wahai asy-
Sya’bi, ia membuatku
terpaksa berkhutbah di
tempat tersebut.
Aku katakan, ‘Segala puji
bagi Allah. Aku memuji-Nya
dan memohon pertolongan
kepada-Nya. Semoga
shalawat dan salam atas Nabi
dan keluarganya.
Sesungguhnya engkau
mengatakan suatu
pembicaraan yang bila
engkau teguh di atasnya,
maka itu menjadi
keberuntunganmu, dan jika
engkau meninggalkannya,
maka itu menjadi hujjah
(keburukan) atasmu. Aku
menyukai demikian dan
demikian, dan tidak menyukai
demikian dan demikian. Bila
ada kebaikan mari kita
laksanakan, bila ada
keburukan mari kita
singkirkan. ’
Ia bertanya, ‘Bagaimana
pandanganmu dalam
mengunjungi keluargaku?’
Aku menjawab, ‘Aku tidak
ingin membuat bosan
mertuaku. ’
Ia bertanya, ‘Siapa yang
engkau sukai dari para
tetanggamu untuk masuk ke
rumahmu sehingga aku akan
mengizinkannya, dan siapa
yang tidak engkau sukai
sehingga aku tidak mengizin­
kannya masuk?’ Aku
mengatakan, ‘Bani fulan
adalah kaum yang shalih, dan
Bani fulan adalah kaum yang
buruk. ’”
Syuraih berkata, “Wahai
Sya’bi pada malam itu kami
menikmati malam pertama,
hati berbunga-bunga penuh
dengan bahagia dan senang.
Aku hidup bersamanya
selama setahun dan aku tidak
melihat melainkan sesuatu
yang aku sukai. Hingga di
penghujung tahun ketika aku
pulang dari majelis
Qadha ’ (peradilan), tiba-tiba
ada seorang wanita tua di
dalam rumahku. Aku
bertanya, ‘Siapa dia?’
Isteriku menjawab, ‘Dia
adalah ipar perempuanmu.’
Aku senang bertemu
dengannya.
Ketika saya duduk
berhadapan dengan iparku,
dia mengucapkan salam dan
akupun menjawabnya. Saya
bertanya, ‘Siapa anda?’ Ia
menjawab, ‘Saya ipar
perempuanmu.’ Saya
berkata, ‘Semoga Allah
mengakrabkanmu dengan
kami ?’
Lalu bertanya kepadaku,
‘ Bagaimana pendapatmu
tentang isterimu?’ Aku
menjawab, ‘Dia adalah
sebaik-baik isteri.’ Ia
berkata,
‘Wahai Abu Umayyah,
sungguh tidak ada kondisi
yang paling buruk bagi
wanita kecuali dalam dua
keadaan, ketika melahirkan
anak atau ketika
mendapatkan perhatian yang
lebih dari suaminya. Sehingga
bila kamu meragukan
isterimu maka hendaklah
kamu ambil cambuk. Demi
Allah, tidak ada perkara yang
paling buruk bagi seorang
laki-laki kecuali masuknya
wanita yang manja ke dalam
rumahnya. Oleh karena itu,
hukumlah dengan hukuman
yang engkau suka, dan
didiklah dengan didikan yang
engkau suka.’
Saya berkata, ‘Tenanglah
wahai ibu, sungguh aku telah
mendidik dan mengajari
beberapa adab dengan baik
dan aku melatihnya untuk
hidup secara baik. ’
Ia lalu berkata, ‘Apakah
senang bila para kerabat
isterimu berkunjung
kerumahmu ?’ Saya
menjawab, ‘Silahkan
berkunjung kapan saja.’
Syuraih berkata, ‘Kerabat
isteriku datang setiap
penghujung tahun dan
memberi nasehat seperti itu.
Aku tinggal bersama isteriku
selama 20 tahun, dan aku
tidak pernah menghukumnya
mengenai sesuatu pun,
kecuali sekali, dan aku
merasa telah
menzhaliminya. ”
Demikianlah sebuah kisah
yang terdapat di Ahkaamun
Nisaa ’, lbnul Jauzi (hal.
134-135) dan Ahkaamul Qur-
an, lbnul ‘Arabi (I/417)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar