Selasa, 22 Maret 2011

sang istri

diriwayatkan bahwa Syuraih
al-Qadhi bertemu dengan
asy-Sya ’bi pada suatu hari,
lalu asy-Sya’bi bertanya
kepadanya tentang
keadaannya di rumahnya. Ia
menjawab:
“Selama 20 tahun aku tidak
melihat sesuatu yang
membuatku marah terhadap
isteriku. ”
Asy-Sya’bi bertanya,
“Bagaimana itu terjadi?”
Syuraih menjawab, “Sejak
malam pertama aku bersua
dengan isteriku, aku melihat
padanya kecantikan yang
menggoda dan kecantikan
yang langka.
Aku berkata pada diriku:
‘ Aku akan bersuci dan
shalat dua rakaat sebagai
tanda syukur kepada Allah.
Ketika aku salam, aku
mendapati isteriku ada di
belakangku ikut menunaikan
shalat dengan shalatku dan
salam dengan salamku.
Maka ketika rumahku telah
sepi dari para Sahabat dan
rekan-rekan, aku berdiri
menuju kepadanya. Aku
ulurkan tanganku keubun-
ubunnya, maka dia berkata,
‘Perlahan, wahai Abu
Umayyah, seperti keadaanmu
semula. ’
Kemudian isteriku berkata,
“Segala puji bagi Allah. Aku
memuji-Nya dan memohon
pertolongan kepada-Nya.
Semoga shalawat dan salam
atas Muhammad dan
keluarganya. Sesungguhnya
aku adalah wanita asing yang
tidak mengetahui akhlakmu,
maka jelaskanlah kepadaku
apa yang engkau sukai
sehingga aku akan
melakukannya dan apa yang
tidak engkau sukai sehingga
aku meninggalkannya.”
Dia lalu mengatakan, ‘Bisa
jadi dahulu ada perempuan
yang ingin menikah
denganmu dan begitu juga
aku, ada laki-laki yang ingin
menikah denganku. Namun
Allah telah menggariskan
pertemuan ini. Engkau telah
berkuasa penuh terhadap
diriku, maka lakukanlah apa
yang diperintahkan Allah
kepadamu. Apabila ada
kebaikan dalam pernikahan
ini maka pertahankanlah
hubungan ini dengan cara
yang baik dan bila ada
keburukan sehingga harus
berpisah maka ceraikanlah
dengan cara yang baik pula.
Aku ucapkan sampai di sini
saja, dan aku memohon
ampun kepada Allah untukku
dan untukmu. ’
Syuraih berkata,
“Demi Allah wahai asy-
Sya’bi, ia membuatku
terpaksa berkhutbah di
tempat tersebut.
Aku katakan, ‘Segala puji
bagi Allah. Aku memuji-Nya
dan memohon pertolongan
kepada-Nya. Semoga
shalawat dan salam atas Nabi
dan keluarganya.
Sesungguhnya engkau
mengatakan suatu
pembicaraan yang bila
engkau teguh di atasnya,
maka itu menjadi
keberuntunganmu, dan jika
engkau meninggalkannya,
maka itu menjadi hujjah
(keburukan) atasmu. Aku
menyukai demikian dan
demikian, dan tidak menyukai
demikian dan demikian. Bila
ada kebaikan mari kita
laksanakan, bila ada
keburukan mari kita
singkirkan. ’
Ia bertanya, ‘Bagaimana
pandanganmu dalam
mengunjungi keluargaku?’
Aku menjawab, ‘Aku tidak
ingin membuat bosan
mertuaku. ’
Ia bertanya, ‘Siapa yang
engkau sukai dari para
tetanggamu untuk masuk ke
rumahmu sehingga aku akan
mengizinkannya, dan siapa
yang tidak engkau sukai
sehingga aku tidak mengizin­
kannya masuk?’ Aku
mengatakan, ‘Bani fulan
adalah kaum yang shalih, dan
Bani fulan adalah kaum yang
buruk. ’”
Syuraih berkata, “Wahai
Sya’bi pada malam itu kami
menikmati malam pertama,
hati berbunga-bunga penuh
dengan bahagia dan senang.
Aku hidup bersamanya
selama setahun dan aku tidak
melihat melainkan sesuatu
yang aku sukai. Hingga di
penghujung tahun ketika aku
pulang dari majelis
Qadha ’ (peradilan), tiba-tiba
ada seorang wanita tua di
dalam rumahku. Aku
bertanya, ‘Siapa dia?’
Isteriku menjawab, ‘Dia
adalah ipar perempuanmu.’
Aku senang bertemu
dengannya.
Ketika saya duduk
berhadapan dengan iparku,
dia mengucapkan salam dan
akupun menjawabnya. Saya
bertanya, ‘Siapa anda?’ Ia
menjawab, ‘Saya ipar
perempuanmu.’ Saya
berkata, ‘Semoga Allah
mengakrabkanmu dengan
kami ?’
Lalu bertanya kepadaku,
‘ Bagaimana pendapatmu
tentang isterimu?’ Aku
menjawab, ‘Dia adalah
sebaik-baik isteri.’ Ia
berkata,
‘Wahai Abu Umayyah,
sungguh tidak ada kondisi
yang paling buruk bagi
wanita kecuali dalam dua
keadaan, ketika melahirkan
anak atau ketika
mendapatkan perhatian yang
lebih dari suaminya. Sehingga
bila kamu meragukan
isterimu maka hendaklah
kamu ambil cambuk. Demi
Allah, tidak ada perkara yang
paling buruk bagi seorang
laki-laki kecuali masuknya
wanita yang manja ke dalam
rumahnya. Oleh karena itu,
hukumlah dengan hukuman
yang engkau suka, dan
didiklah dengan didikan yang
engkau suka.’
Saya berkata, ‘Tenanglah
wahai ibu, sungguh aku telah
mendidik dan mengajari
beberapa adab dengan baik
dan aku melatihnya untuk
hidup secara baik. ’
Ia lalu berkata, ‘Apakah
senang bila para kerabat
isterimu berkunjung
kerumahmu ?’ Saya
menjawab, ‘Silahkan
berkunjung kapan saja.’
Syuraih berkata, ‘Kerabat
isteriku datang setiap
penghujung tahun dan
memberi nasehat seperti itu.
Aku tinggal bersama isteriku
selama 20 tahun, dan aku
tidak pernah menghukumnya
mengenai sesuatu pun,
kecuali sekali, dan aku
merasa telah
menzhaliminya. ”
Demikianlah sebuah kisah
yang terdapat di Ahkaamun
Nisaa ’, lbnul Jauzi (hal.
134-135) dan Ahkaamul Qur-
an, lbnul ‘Arabi (I/417)

Senin, 14 Maret 2011

-TEKAD YANG KUAT-

. Tekad yang kuat
Jika penyesalan itu
berkaitan dengan masa lalu
dan kesalahan yang telah ia
perbuat; ada dimensi dalam
taubat yang berkaitan
dengan masa depan, dan
tentang probabilitas ia
melakukan pengulangan
perbuatan dosa itu kembali,
serta bagaimana mengganti
kesalahan yang telah ia
perbuat. Yaitu dengan
bertekad untuk
meninggalkan maksiat itu
dan bertaubat darinya
secara total, dan tidak akan
kembali melakukannya
selama-lamanya. Seperti
susu yang tidak mungkin
kembali ke puting hewan
setelah diperah. Ini semua
berpulang pada keinginan
dan tekad orang itu. Dan
tekad itu harus kuat betul,
bukan keinginan yang
dilandasi oleh keragu-
raguan. Tidak seperti mereka
yang pada pagi harinya
bertaubat sementara pada
sore harinya kembali
mengulangi lagi dosanya!
Yang terpenting dalam
masalah tekadnya ini adalah
agar tekad itu kuat dan
betul-betul, saat bertaubat.
Dengan tanpa disertai oleh
keraguan atau kerinduan
untuk kembali melakukan
kemaksiatan, atau juga
berpikir untuk
mengerjakannya kembali.
Taubat itu tidak batal jika
suatu saat tekadnya itu
sedikit melemah kemudian ia
terlena oleh dirinya, tertipu
oleh syaitan sehingga ia
terpeleset, dan kembali
melakukan kemaksiatan.
Dalam kasus seperti ini, ia
harus segera melakukan
taubat, menyesal dan
menyusun tekad lagi. Dan ia
tidak perlu putus-asa takut
taubatnya tidak diterima jika
memang tekadnya tulus.
Allah SWT berfirman:
"Maka sesungguhnya Dia
Maha Pengampun bagi
orang-orang yang
bertaubat" [QS. al Isra: 25].
Al-Awwaab adalah orang
yang sering meminta
ampunan kepada Allah SWT;
setiap kali ia melakukan dosa
ia mengetahui bahwa ia
memiliki Rabb Yang Maha
Mengampuni dosa, maka dia
segera melakukan istighfar
dan diapun mendapatkan
ampunan.
Imam Ibnu Katsir berkata:
"Sedangkan jika ia bertekad
untuk bertaubat dan
memegang teguh tekadnya,
maka itu akan
menghapuskan kesalahan-
kesalahannya pada masa
lalu. Seperti terdapat dalam
hadits sahjih "Islam
menghapuskan apa yang
sebelumnya, dan taubat
menghapuskan dosa yang
sebelumnya".
Ibnu Katsir berkata: "apakah
syarat taubat nasuha itu
orang harus tetap bersikap
seperti itu hingga ia mati,
seperti diungkapkan dalam
hadits dan atsar: "kemudian
ia tidak kembali
melakukannya selama-
lamanya", ataukah cukup
bertekad untuk tidak
mengulangi lagi, untuk
menghapus dosa yang telah
lalu, sehingga ketika ia
kembali melakukan dosa
setelah itu, maka ia tidak
merusak taubatnya dan
menghidupkan kembali dosa
yang telah terhapuskan,
dengan melihat generalitas
pengertian hadits: "Taubat
menghapus dosa yang
sebelumnya" [Tafsir Ibnu
Katsir: 4/ 392 , cet. Al
Halabi.]?.
Ibnu Qayyim membicarakan
hal ini dalam kitabnya
"Madarij Salikin" dan
menyebut dua pendapat:
Satu pendapat
mengharuskan agar orang
itu tidak mengulangi kembali
dosanya sama sekali. Dan
berkata: ketika ia kembali
melakukan dosa, maka
jelaslah taubatnya yang
dahulu itu batal dan tidak
sah.
Sedangkan menurut
pendapat kalangan
mayoritas, hal itu tidak
menjadi syarat. Kesahihan
taubat hanya ditentukan
oleh tindakannya
meninggalkan dosa itu, dan
bertaubat darinya, serta
bertekad dengan kuat untuk
tidak mengulanginya lagi.
Dan jika ia mengulanginya
lagi padahal ia dahulu telah
bertekad untuk tidak
mengulang dosanya itu,
maka saat itu ia seperti
orang yang melakukan
kemaksiatan dari permulaan
sekali, sehingga taubatnya
yang lalu tidak batal.
Ia berkata: masalah ini
dibangun di atas dasar
pertanyaan: "Apakah
seorang hamba yang
bertaubat dari suatu dosa
kemudian ia mengulanginya
dosanya itu, ia kembali
menanggung dosa yang telah
ia mintakan taubatnya
sebelumnya, sehingga ia
harus menanggung dosa
yang lalu dan sekarang ini,
jika ia mati saat masih
melakukan maksiat?
Ataukah itu telah terhapus,
sehingga ia tidak lagi
menanggung dosanya,
namun hanya menanggung
dosa yang terakhir itu?"
Dalam masalah ini ada dua
pendapat:
Satu kelompok berpendapat:
ia kembali menanggung dosa
yang telah ia mintakan
taubatnya dahulu itu, karena
taubatnya telah rusak dan
batal ketika ia mengulangi
dosanya. Mereka berkata:
karena taubat dari dosa
adalah seperti keislaman
dengan kekafiran. Seorang
yang kafir ketika ia masuk
Islam maka keislamannya itu
akan menghapuskan seluruh
dosa kekafiran dan dosa
yang pernah dilakukannya.
Kemudian jika ia murtad,
dosanya yang lalu itu
kembali ia tanggung
ditambah dengan dosa
murtad. Seperti terdapat
dalam hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa yang beramal
baik dalam Islam (setelah
masuk ke dalamnya dari
kejahiliyahan) maka ia tidak
akan dipertanyakan akan
apa yang telah diperbuatnya
pada masa jahiliah. Dan siapa
yang berbuat buruk dalam
Islam, maka ia akan
dimintakan
pertanggungjawaban akan
dosanya pada yang pertama
(saat masih jahiliah) dan
yang lainnya (setelah Islam)".
Ini adalah orang yang masuk
Islam namun merusakan
keislamannya itu. Dan telah
diketahui bersama bahwa
kemurtadan adalah
perusakan yang paling besar
terhadap keislaman
seseorang. Maka ia akan
kembali menanggung dosa
yang telah ia lakukan dalam
kekafirannya sebelum ia
masuk Islam, dan keislaman
yang pernah ia rasakan itu
tidak menghapuskan dosa-
dosa yang lama iu. Demikian
juga dosa orang yang
taubatnya ia langgar, maka
dosa yang dilakukan sebelum
taubat yang ia langgar itu
kembali ia tanggung. Juga
tidak menghalangi dosa yang
ia lakukan kemudian.
Mereka berkata: karena
kesahihan taubat
disyaratkan kontinuitasnya
dan terus dijalani, maka
sesuatu yang tergantung
dengan suatu syarat akan
hilang ketika syarat itu
lenyap. Seperti kesahihan
Islam disayaratkan
kontinuitasnya dan terus
dijalaninya. Mereka berkata:
taubat adalah wajib secara
ketat sepanjang usia
seseorang. Masanya adalah
sepanjang usia orang itu.
Oleh karena itu, hukumnya-
pun harus terus ditaati
sepanjang usianya. Maka
bagi dia, masa sepanjang
usianya itu adalah seperti
orang yang menahan diri dari
melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa ketika
ia berpuasa pada hari itu.
Maka jika sepanjang hari ia
menahan diri dari yang
membatalkan puasa,
kemudian ia melakukan
perbuatan yang
membatalkan puasa pada
sore harinya, niscaya seluruh
puasanya yang telah ia jalani
dari pagi hari itu otomaits
batal, dan tidak dinilai
sebagai puasa. Dan ia sama
seperti orang yang tidak
puasa sama sekali.
Mereka berkata: ini didukung
oleh hadits sahih, yaitu sabda
Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya seorang
hamba telah beramal dengan
amal penghuni surga, hingga
antara dirinya dengan surga
itu sekadar satu lengan,
kemudian ketentuan
takdirnya datang hingga
akhirnya ia beramal dengan
amal penghuni neraka
sehingga iapun masuk ke
neraka itu".
Ini lebih umum dari amal
yang kedua itu, suatu
kekafiran yang
menghantarkan kepada
neraka selamanya, atau
kemaksiatan yang
menghantarkannya ke
neraka. Karena Rasulullah
Saw tidak mensabdakan:
"maka ia murtad dan iapun
meninggalkan Islam". Namun
menghabarkan bahwa: ia
beramal dengan amal yang
menghantarkannya ke
neraka. Dan dalam sebagian
kitab sunan terdapat: "Ada
seorang hamba yang telah
melakukan ketaatan kepada
Allah SWT selama enam
puluh tahun, dan ketika ia
menjelang kematiannya ia
melakukan kecurangan
dalam berwasiat maka iapun
masuk neraka".
Penutup yang buruk lebih
umum dari penutup dengan
kekafiran atau kemaksiatan.
Dan seluruh amal perbuatan
dinilai dengan akhir amal itu.
Sedangkan kelompok kedua
-- yaitu mereka yang
berkata bahwa dosa yang
lama yang telah ia mintakan
taubatnya tidak kembali
ditanggungnya jika ia
melanggar taubatnya itu--
berdalil bahwa dosa itu telah
terhapus dengan taubat.
Maka ia seperti orang yang
tidak melakukannya sama
sekali, sehingga ia seperti
tidak ada. Sehingga ia tidak
kembali ke situ setelahnya.
Namun yang harus ia
tanggung hanya dosa yang
baru itu, bukan dosa yang
lama.
Mereka berkata: tidak
disyaratkan dalam kesahihan
taubat itu ia tidak pernah
berdosa hingga mati. Namun
jika ia telah menyesal dan
meninggalkan dosa serta
bertekad untuk
meninggalkan sama sekali
perbuatannya itu, niscaya
dosanya segera
terhapuskan. Dan jika ia
kembali melakukannya, ia
memulai dari baru catatan
dosanya itu.
Mereka berkata: ini tidak
seperti kekafiran yang
menghancurkan seluruh
amal kebaikan. Karena
kekafiran itu lain lagi
masalahnya. Oleh karenanya
ia menghapuskan seluruh
kebaikan. Sedangkan
kembali berdosa tidak
menghapuskan amal
kebaikan yang telah
dilakukannya.
Mereka berkata: taubat
adalah termasuk kebaikan
yang paling besar. Maka jika
taubat itu dibatalkan dengan
melakukan dosa kembali,
niscaya pahala-pahala itu
juga terhapuskan. Pendapat
itu tidak benar sama sekali.
Itu sama seperti mazhab
kaum khawarij yang
mengkafirkan orang karena
dosa yang ia perbuat. Dan
kaum Mu'tazilah yang
memasukkan orang yang
berdosa besar dalam neraka,
meskipun ia telah melakukan
banyak amal yang baik.
Kedua kelompok itu sepakat
memasukkan orang-orang
yang melakukan dosa-dosa
besar dalam neraka. Namun
khawarij mengkafirkan
mereka, dan mu'tazilah
menilai mereka fasik. Dan
kedua mazhabn itu adalah
batil dalam Islam.
Bersebrangan dengan nash-
nash, akal serta keadilan:
"Sesungguhnya Allah tidak
menganiaya seseorang
walaupun sebesar dzarrah,
dan jika ada kebajikan
sebesar dzarrah, niscaya
Allah akan melipat
gandakannya, dan
memberikan dari sisi-Nya
pahala yang besar" [QS. an-
Nisa: 40].
Mereka berkata: Imam
Ahmad menyebutkan dalam
musnadnya secara marfu'
kepada Nabi Saw:
"Sesungguhnya Allah SWT
mencintai hamba yang
terfitnah (hingga melakukan
dosa) dan sering meminta
ampunan" [Hadits ini
sanadnya dha'if jiddan/
lemah sekali].
Aku berkata: ia adalah orang
yang setiap kali melakukan
dosa ia segera bertaubat dari
dosa itu. Kalaulah mengulang
dosa itu membatalkan
taubatnya niscaya ia tidak
disenangi oleh Rabbnya,
malah menimbulkan
kebencian-Nya.
Mereka berkata: Allah SWT
mengaitkan diterimanya
taubat dengan istighfar,
tidak terus melakukan dosa,
dan tidak mengulanginya.
Allah SWT berfirman:
"Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri,
mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa
lagi yang dapat mengampuni
dosa selain dari pada Allah? -
Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka
mengetahui" [QS. Ali Imran:
135].
Terus melakukan dosa
adalah: membiasakan hati
dan diri untuk melakukan
dosa setiap kali ada
kesempatan untuk itu. Inilah
yang menghalangi maghfirah
dari Allah SWT.
Mereka berkata: Sedangkan
kontinuitas taubat adalah
syarat keabsahan
kesempurnaan dan
kemanfaatan taubat itu,
bukan syarat keabsahan
taubat atas dosa yang
sebelumnya. Namun tidak
demikian halnya dengan
ibadah, seperti puasa selama
satu hari penuh, serta
bilangan raka'at dalam
shalat. Karena ia adalah
suatu ibadah secara utuh,
sehingga ibadah itu tidak
dapat diterima jika tidak
terpenuhi seluruh rukun dan
bagian-bagiannya.
Sedangkan taubat, ia adalah
adalah ibadah yang beragam
sesuai dengan ragam dosa.
Setiap dosa memiliki cara
taubat tersendiri. Jika
seseorang melakukan suatu
ibadah dan tidak melakukan
yang lain, itu tidak berarti
ibadah yang dilakukannya itu
tidak sah karena ia tidak
mengerjakan ibadah yang
lain, seperti telah disebutkan
sebelumnya.
Namun, sama dengan ini
adalah: orang yang puasa
pada bulan Ramadlan
kemudian ia membatalkan
puasanya itu tanpa adanya
uzur, maka apakah puasa
yang ia batalkan itu
membatalkan pahala puasa
yang telah ia lakukan?
Contoh yang lain adalah
orang yang shalat namun ia
tidak berpuasa , atau yang
yang menunaikan zakat
namun tidak pernah
melaksanakan ibadah hajji
(padahal ia mampu).
Pokok masalah: taubat
sebelumnya adalah
kebaikan, sedangkan
mengulang dosa itu adalah
keburukan, maka
pengulangan dosa itu itidak
menghapus kebaikan itu,
juga tidak membatalkan
kebaikan yang dilakukan
bersamaan dengannya.
Mereka berkata: ini dalam
pokok-pokok (ushul) ahli
sunnah lebih jelas. Mereka
sepakat bahwa seseorang
bisa mendapat perlindungan
dari Allah SWT dan pada saat
yang sama juga dibenci oleh-
Nya. Atau ia dicintai Allah
SWT namun ia juga sekaligus
dibenci dari segi lain. Atau
ada orang yang beriman
namun masih mempunyai
kemunafikan, juga keimanan
dan kekafiran. Dan orang itu
dapat lebih dekat kepada
suatu sisi dari sisi yang lain.
Sehingga ia menjadi
kelompok sisi itu. Seperti
firman Allah SWT: "Mereka
pada hari itu lebih dekat
kepada kekafiran dari padi
keimanan"[QS. Ali Imran:
167]. Dan berfirman:
"Dan sebagian besar dari
mereka tidak beriman
kepada Allah, melainkan
dalam keadaan
mempersekutukan Allah
(dengan sembahan-
sembahan lain)" [QS. Yusuf:
106].
Allah SWT mengakui
keimanan mereka, sambil
menyebut kemusyrikan
mereka. Namun jika bersama
kemusyrikan ini juga
terdapat pengingkaran
terhadap Rasul-rasul Allah
maka keimanannya kepada
Allah SWT itu tidak bermakna
lagi. Sedangkan jika mereka
membenarkan apa yang
dibawa oleh Rasulullah Saw,
sementara mereka tetap
melakukan beragam
tindakan musyrik, itu tidak
mengeluarkan mereka dari
keimanan kepada para Rasul
dan hari kiamat. Dan mereka
berhak mendapatkan
ancaman yang lebih besar
daripada pelaku dosa-dosa
besar.
Kemusyrikan mereka adalah
dua macam: musyrik yang
tersembunyi dan yang
terang-terangan. Yang
tersembunyi dapat diampuni,
sedangkan yang terang-
terangan tidak diampuni oleh
Allah SWT kecuali dengan
melakukan taubat dari
pebuatannya itu. Karena
Allah SWT tidak mengampuni
kemusyrikan.
Dengan dasar ini, ahli sunnah
mengatakan bahwa para
pelaku dosa besar masuk
neraka, namun setelah
merasakan siksa neraka itu
mereka akan keluar darinya
dan masuk surga, karena
adanya dua unsur pada
dirinya.
Jika demikian, maka orang
yang mengulang melakukan
dosa setelah bertaubat
adalah orang yang dibenci
Allah SWT karena ia
mengulangi dosanya, namun
juga dicintai karena ia telah
melakukan taubat dan amal
ang yang baik sebelumnya.
Dan Allah SWT telah
menetapkan bagi segala
seuatu sebab-sebabnya,
dengan adil dan penuh
hikmah, dan Allah SWT tidak
sedikitpun melakukan
kezhaliman.
"Dan sekali-kali tidaklah
Tuhanmu menganiaya
hamba-hamba (Nya)" [QS.
Fushilat: 46].

Kamis, 10 Maret 2011

Kecemburuan dalam rumah tangga

Dalam perjalanan
kehidupan manusia,
seseorang akan
menghadapi berbagai
hal saat berinteraksi
dengan manusia yang
lain. Oleh karena itu
diperlukan bimbingan
syariat agar kehidupan
seseorang
mendapatkan berkah
dari Allah. Begitu pula
kehidupan sepasang
suami istri,
kecemburuan
merupakan suatu hal
yang sangat mungkin
terjadi dalam
perjalanan mengaruhi
bahtera kehidupan.
Cemburu merupakan
sifat dasar yang
dimiliki manusia
terutama wanita.
Suami harus bisa
memahami watak
istrinya karena wanita
adalah orang yang
kurang akal dan
agamanya.
“Wanita diciptakan
dari tulang rusuk lelaki,
kalau seandainya kita
memaksa untuk
meluruskannya, maka
akan patah, kalau
dibiarkan maka akan
tetap bengkok” HR
Bukhari
Semua ada hikmahnya,
kadang Allah
mengutamakan kaum
pria di atas wanita dan
kadang
mengutamakan kaum
wanita di atas pria.
Kecemburuan
merupakan suatu hal
yang pasti terjadi,
bahkan terjadi di
rumah tangga Nabi
Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa salam.
Diantara kisah tersebut
antara lain:
1. Kecemburuan Aisyah
terhadap Khadijah
Aisyah cemburu
terhadap Khadijah
walaupun mereka
tidak pernah bertemu.
Hal ini dikarenakan
Rasulullah sering
menyebut-nyebut
kebaikan Khadijah, dan
Rasulullah
mendapatkan
keturunan dari beliau.
Aisyah berkata,
“Bukankah Allah telah
menggantikan dengan
wanita yang lebih
baik ?”, dijawab oleh
Rasulullah, “Tidak,
Allah tidak
menggantikannya
dengan wanita yang
lebih baik. ”
Rasa cemburu harus
dilandasi dengan ilmu
atau hanya akan
membawa petaka,
diantaranya
melakukan hal-hal
yang melanggar
perintah agama:
Sihir untuk
memisahkan
pasangan
suami-istri
Kelakuan yang
jelek
Mengadu domba
2. Kecemburuan Aisyah
saat Rasulullah
mendapatkan hadiah
dari istri beliau yang
lain
Seorang suami juga
harus berlandaskan
ilmu ketika menyikapi
rasa cemburu dari
istrinya. Dicontohkan
ketika ada seorang
pelayan yang diutus
oleh salah seorang istri
Rasulullah yang
membawa makanan
saat beliau ada di
rumah Aisyah,
kemudian Aisyah
memukul tangan
pembantu tersebut
sehingga jatuh dan
pecahlah piring
makanan hadiah
tersebut. Tapi
Rasulullah tidak marah,
tetapi membimbingnya
dengan ilmu dan
kesabaran. Rasulullah
berkata, “Telah
cemburu ibu kalian”,
kemudian Rasulullah
mengumpulkan
pecahan piring dan
diganti dengan piring
yang lain.
3. Kecemburuan istri
Rasulullah ketika beliau
menikah dengan
Shafiyah
Ketika Rasulullah
menikah dengan
Shafiyah binti Huyai
timbul kecemburuan
dalam diri Hafshah dan
berkata, “Dia adalah
anak Yahudi”, hal ini
terdengar oleh
Shafiyah yang
membuatnya bersedih
dan menangis.
Kemudian dihibur oleh
Rasulullah dengan
mengatakan,
“ Ketahuilah bahwa
engkau adalah
keturunan seorang
nabi, pamanmu adalah
seorang nabi, dan
engkau sekarang
berada di bawah
naungan seorang nabi.
Wahai Hafshah,
bertakwalah kepada
Allah ”.
Kecemburuan seorang
suami
Rasa cemburu juga
harus dimiliki oleh
seorang suami, tidak
boleh suami
membiarkan istrinya
bermaksiat. Lelaki
Dayyuts (tidak memiliki
rasa cemburu) tidak
akan mendapatkan
baunya surga. Diantara
kisah yang
menunjukkan betapa
pencemburunya
shahabat antara lain:
1. Kecemburuan
Sa ’ad bin Ubadah
Sa’ad bin Ubadah
berkata, “Jikalau aku
mendapati istriku
bersama seorang laki-
laki maka akan aku
tebas lehernya ”,
Rasulullah bertanya
kepada para sahabat,
“ Apakah kalian
merasa heran dengan
kecemburuan
Sa ’ad ?, bahkan Allah
lebih cemburu lagi”.
Diterangkan oleh Abu
Hurairah dalam Shahih
Bukhari,
“ Sesungguhnya Allah
itu cemburu, yaitu
ketika seorang mukmin
melanggar apa yang
diharamkan oleh
Allah ”.
2. Kecemburuan Zubair
bin Awam
Asma’ binti Abu Bakar
ketika menjaga
kecemburuan
suaminya, Zubair bin
Awam, mereka
menikah dalam
keadaan Zubair bin
Awam adalah seorang
miskin yang hanya
memiliki seekor kuda
dan seekor unta saja.
Merupakan kebiasaan
Asma ’ binti Abu Bakar
yang memberikan
makan hewan-hewan
tersebut, begitu pula
membuatkan roti
untuk sang suami.
Tetapi Asma ’ tidak
bisa membuat adonan
sendiri sehingga harus
meminta tolong
kepada orang lain yang
jaraknya sekitar 8 km.
Suatu saat ketika
Asma’ membawa biji
gandum untuk
dibuatkan adonan roti
bertemulah dia dengan
rombongan Rasulullah
Shalallahu ‘alaih wa
salam. Dan Rasulullah
menawarkan
tunggangan kepada
Asma ’, walaupun
Asma’berjalan
dengan jarak yang jauh
akan tetapi dia
menjawabnya dengan
mengatakan bahwa
kalaulah bukan karena
kecemburuan
suaminya, tentu
Asma ’ akan
menerimanya. Asma’
berkata,
“ Sesungguhnya
Zubair itu adalah
seorang yang sangat
pencemburu ”. Ketika
Asma’ telah tiba di
rumah dan
menceritakan kejadian
ini kepada Zubair bin
Awam, Zubair
mengatakan,
“ Sungguh engkau
berjalan dengan
kakimu lebih aku cintai
daripada engkau
berjalan dengan
khalifah Rasulullah ”.
Semoga bermanfaat

Minggu, 06 Maret 2011

@HENING@

heneng artinya adalah Sabar,
Pasrah serta Tawakal dalam
menerima kehendak Allah
atau
dalam bahasa Jawanya
“Nrimo
Ing Pandum lan tansah
Sumeleh
marang Peparinge Gusti Allah
” .
Sifat sabar dan selalu
tawakal
dalam menerima kehendak
atau
takdir Allah adalah
merupakan
senjata pamungkas dalam
menghadapi ribetnya,
ruwetnya,
serta sesaknya beban hidup
yang
menghimpit dalam perjalanan
waktu yang mesti kita lalui.
Dengan kesabaran serta
ketawakalan kita kepada
Allah,
maka seberat apapun
cobaan,
godaan dan hambatan yang
kita
hadapi Insya Allah akan
terasa
ringan, ibaratnya hanya
seperti
Slilit yang terselip diantara
sela-
sela gigi kita.
Dan sebaliknya jika kita
menghadapi setiap cobaan
dengan perasaan putus asa,
nggrundel dan ngresulo serta
selalu mencaci maki takdir
Allah,
maka cobaan seringan
apapun
akan terasa seperti sebuah
Gunung batu yang
menghimpit
punggung kita.
Perhatikanlah firman-firman
Allah
berikut ini:
Dan jadikanlah Sabar dan
Sholat
sebagai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang demikian
itu
sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang kusyu ’.
(QS: Al-
Baqarah ayat 45)
Hai orang-orang yang
beriman
jadikanlah sabar dan sholat
sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta
dengan orang-orang yang
sabar.
(QS: Al-Baqarah ayat 153)
Dan sungguh akan Kami
berikan
cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikan
kabar
gembira bagi orang-orang
yang
bersabar. (QS: Al-Baqarah
ayat
155)
Maka bersabarlah kamu
dengan
kesabaran yang indah (QS: Al-
Ma ’arij ayat 5)
Jadi sangat jelaslah disini
bahwa
Kesabaran adalah kunci
utama
sekaligus senjata yang paling
ampuh dalam menghadapi
carut
marut problematika
kehidupan
yang kita jalani.
Kedua adalah falsafah Hening,
hening dalam pengertian
sederhananya adalah
mensucikan hati serta
menjernihkan pikiran dengan
bertafakur dan berdzikir
kepada
Allah.
Allah adalah Dzat Yang Maha
Sempurna, maka hanya
kepada-
Nyalah hendaknya kita
memuja,
Allah adalah Dzat Yang Maha
Indah maka kepada-Nyalah
seharusnya kita tujukan hati
kita,
Allah adalah Dzat Yang Maha
Segala-galanya, maka hanya
kepada-Nyalah sepatutnya
kita
memohon.
Berdzikir, bermeditasi serta
berkontemplasi kepada Allah
akan membuat hati kita
menjadi
tentram, terasa sejuk segar,
selaksa menghirup udara di
pagi
hari yang jernih.
Ke-Maha Indahan-Nya tak
tertandingi, Ke-Maha
Jelitaan-Nya
tiada terperi, Ke-Maha
Lembutan
belaian-Nya, mampu
menembus
relung-relung hati
berpendaran
pada seluruh pembuluh darah
dan urat nadi, maka
rasakanlah
keteduhan yang luar biasa,
sambil mengucap:
Allah, Allah, Allah, Allah, Yaa
Jamiil,
Allah, Allah, Allah, Allah, Yaa
Latiif.,
Allah, Allah, Allah, Allah aku
bersimpuh dipelataran-Mu,
menunggu ridho dan rahmat-
Mu,
akankah Engkau bukakan
pintu-
Mu untukku.
Allah, Allah, Allah, Allah wahai
Yang Perkasa, disini hamba-
Mu
yang fana,
berharap dan cemas adakah
Engkau terima sembah
sujudku.
Yaitu orang-orang yang
mengingat Allah sambil
berdiri
atau duduk atau dalam
keadaan
berbaring dan mereka
memikirkan tentang
penciptaan
langit dan bumi (seraya
berkata) :
“ Yaa Tuhan kami tiadalah
Engkau menciptakan ini
dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka
peliharalah kami dari siksa
api
neraka ”. (QS: Ali Imran ayat
191)
Yaitu orang-orang yang
beriman
dan hati mereka menjadi
tentram
dengan mengingat Allah.
Ingatlah
hanya dengan mengingat
Allah-
lah maka hati menjadi
tentram
(QS: Ar-ra ’d ayat 28)
Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik
(yaitu) Al-Qur ’an yang
serupa
(mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang
yang takut kepada Tuhannya,
kemudian menjadi tenang
kulit
dan hati mereka ketika
mengingat Allah. Itulah
petunjuk
Allah, dengan kitab itu Dia
memberi petunjuk siapa yang
di
Kehendaki-Nya. Dan
barangsiapa
yang disesatkan oleh Allah,
maka
tiada baginya seorang
pemimpin
(QS: Az-Zumar ayat 23)
Yang ketiga adalah makna
Huning, huning artinya adalah
bersyukur atas karunia-
karunia
Allah, dan menyadari akan
keadilan-keadilan-Nya.
Bersyukur mengandung
makna
bahwa semua karunia dan
anugerah yang dicurahkan
Allah
kepada kita hendaknya, tidak
membuat kita lalai atau
sombong
dari mengingat-Nya, setiap
anugerah sekecil apapun itu
mesti harus kita syukuri
dengan
jalan semakin meningkatkan
pengabdian kita kepada Allah.
Kita hendaknya benar-benar
meyakini akan Ke-Maha
Adilan
Allah, bahwa setiap
perbuatan
yang kita lakukan baik itu
perbuatan baik maupun
buruk
akan menerima balasan yang
setimpal dari-Nya. Setiap
perbuatan yang kita lakukan
sekecil apapun itu maka
sesungguhnya Allah Maha
Melihat
dan Maha Mengawasi (Gusti
Allah
Ora Bakale Sare/Turu).
Karena itu ingatlah kamu
kepada-
Ku, niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah
kamu
mengingkari (Nikmat)-Ku. (QS:
Al-
Baqarah ayat 152)
Dan (ingatlah juga) tatkala
Tuhanmu memaklumkan;
“ Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan
menambahkan (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku),
maka
sesungguhnya siksaku
teramat
sangat pedih. (QS: Ibrahim
ayat 7)
Keempat yaitu makna
daripada
Hanung, hanung mengandung
makna bahwasanya kita
mesti
menggunakan akal kita,
memanfaatkan pikiran kita
untuk
selalu merenung, berfikir ,
menganalisa serta
mentafakuri
keindahan-keindahan karya
cipta
Allah.
Betapa banyak karya cipta
Allah
yang tepampang di alam
semesta, dan sebagai
makhluk
yang berakal tentunya kita
harus
memikirkannya,
merenungkannya, sehingga
kita
bisa mendapatkan ibrah atau
pelajaran daripadanya.
Sesungguhnya dalam
penciptaan
langit dan bumi, serta
pergantian
malam dan siang, terdapat
tanda-
tanda bagi orang-orang yang
berakal. (QS: Ali Imran ayat
190).
Betapa besar keagungan
Allah
yang tergambar dalam diri
kita
sendiri sebagai manusia
makhluk
yang paling mulia dimuka
bumi
ini, adakah kita pernah
merenungkannya ?
Dan terhadap dirimu
sendiri.Maka
apakah kamu tidak
memperhatikan ? (QS:
Adzdzaariyaat ayat 21)
Belajar dengan sungguh-
sungguh, menuntut ilmu tak
mengenal waktu dan usia,
mempelajari perilaku alam
semesta (Sunnatullah),
meneliti
metabolisme dalam diri kita
sendiri, mengamati sifat-sifat
manusia, agar kita bisa
memperoleh hikmah dan
manfaatnya. Sebab dengan
terus
belajar dan belajar, berfikir
dan
terus berfikir, maka kita
tentu
akan mudah mendapatkan
jalan
keluar dari setiap
permasalahan
hidup yang membelenggu
kita.
Orang yang selamat adalah
orang
yang mampu mempelajari
keadaan, mampu membaca
situasi dan kondisi,
menciptakan
peluang dan kesempatan
sendiri,
tanpa harus menunggu
kesempatan itu datang
menghampiri.
Sak beja-bejane wong kang
lali
isih beja wong kang tansah
eling
lan waspada.
(Apakah kamu hai orang-
orang
musyrik yang lebih
beruntung)
ataukah orang yang
beribadat
diwaktu-waktu malam
dengan
sujud dan berdiri, sedang ia
takut
pada (azab) akherat dan
mengharapkan rahmat
Tuhannya?. Katakanlah:
Adakah
sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-
orang
yang tidak mengetahui?
Sesungguhnya hanya oran-
orang
ber-akal-lah yang dapat
menerima pelajaran. (QS: Az-
Zumar ayat 9)